Wina Armada Sukardi, Pakar Hukum Pers dan Kode Etik Jurnalistik
Rapat koordinasi pembahasan draf Peraturan Presiden (Perpres) terkait publisher right platform digital yang dihadiri oleh anggota Dewan Pers, para wakil konstituen Dewan Pers, unsur perwakilan Kementerian Politik Hukum dan Keamanan (Kemkopolhukam), serta wakil Sekretariat Negara pada 15 Pebuari lalu berlangsung ricuh. Belum masuk ke pokok perkara, rapat sudah gaduh dan terpaksa dihentikan untuk ditunda.
Konsep publisher right platform digital sendiri, sebenarnya, belum pernah dibahas secara tuntas di masyarakat pers, dan masih cenderung menjadi pemikiran personal.
Draf konsep publisher right platform digital tiba-tiba disodorkan ke pemerintah oleh beberapa personal Dewan Pers priode yang lalu. Meski telah ditandatangani oleh Ketua Dewan Pers saat itu, M. Nuh, sejatinya, beberapa anggota Dewan Pers yang lalu sendiri mengaku konsep itu belum disahkan dalam rapat pleno. Detailnya belum dibahas. Hanya pada waktu injure time peralihan dari anggota Dewan Pers lama ke Dewan Pers baru, draf itu tiba-tiba sudah “disorong” ke pemerintah sebagai gagasan Dewan Pers.
Saya secara personal, sudah sejak awal menegaskan untuk berhati-hati menerapkan draf konsep publisher right platform digital tersebut. Belakangan bahkan saya lebih jauh lagi tegas menolak draf publisher right platform digital itu. Secara terbuka saya mengajnurkan kepada para wartawan senior untuk menolak konsep ini diatur dan ditetapkan oleh pemerinah khususnya melalui Perpers.
Mengundang Pemerintah Mengatur Pers
UU Pers No 40/1999 merupakan buah reformasi yang sampai kini masih murni. Dalam UU Pers sudah jelas, pemerintah tidak diberi ruang untuk ikut campur dalam urusan pers. Pengalaman telah membuktikan, jika pemerintah (siapapun) diberi kesempatan untuk ikut mengatur pers, betapapun kecilnya, maka kesempatan itu sudah pasti dimanfaatkan untuk menanamkan pengaruh pemerintah kepada pers. Sejarah telah membuktikan hal itu.
Dengan demikian jelas, permintaan sebagian anggota pers agar pemerintah ikut campur lagi dalam urusan pers melalui publisher right platform digital merupakan kemunduran nyata dan mendasar dari prinsip independensi pers dari campur tangan pemerintah. Langkah itu merupakan bentuk nyata penghianatan terhadap swaregulasi dalam UU Pers. Memang konsep publisher right platform digital bukan dari pemerintah, namun begitu pemerintah disodorkan draf ini, tak heran jika pemerintah langsung “menyambar” kesempatan ini. Seperti botol mendapat tutupnya.
Tak Ada Dasar UU Pers
Tak ada satupun pasal atau ayat dalam UU Pers yang memberikan pintu masuk pemerintah untuk ikut campur memgatur pers, termasuk dalam bidang administrasi dan korporasi pers. UU Pers hanya memberikan satu ketentuan yang memungkinkan pemerintah mengeluarkan Kepres, yaitu soal pengakatan anggota Dewan Pers. Itu pun presiden sebagai kepada pemerintahan. Itu pun presiden tidak memiliki kewernangan memilih melainkan hanya mengesahkan. Selebihnya semua pintu tertutup.
Dari mana dasar dan cantolan pemerintah mau mengeluarkan Perpers publisher right platform digital di UU Pers?! Tak ada. Tak ada sama sekali. Jadi peraturan pemeringah soal publisher right platform digital sama sekali tidak berdasarkan UU Pers. Bahkan peraturan pemerinta itu jelas-jelas bertabrakan dengan prinsip-prinsip UU Pers. Saya tentu tidak faham jika pemerintah memakai cantolanya dari langit ke tujuh. Tidak faham juga kalau pemerintah memang nekat tidak mau menghormati UU Pers.
Memberi Kepala untuk Dipenggal
Ada yang berdalih, publisher right platform digital hanya mengatur soal perusahaan pers. Bisnis pers saja. Bukan soal pemberitaan. Tak ada sangkut pautnya dengan pemberitaaan! Logika ini logika “konyol” dan “anhistorikal.” Sebuah logika sesat. Kenapa?
Pertama, dalam UU Pers sama sekali tidak dipisahkan mana aspek pemberitan mana aspek perusahaan. Keduanya dianggap satu kesatuan yang tidak boleh dicampuri oleh pemerintah. Menganggap pemerintah hanya boleh mencampuri ranah bisnis atau perusahaan pers tetapi tidak boleh mengatur soal pemerintahan, merupakan sudut pandang yang tidak total sehingga sampai pula kepada kesimpulan yang tidak total. Mencampuri bianis pers secara tidak langsung juga mencampuri urusan pers secara keseluruhan. Omong kosong mencampuri perkara perusahaan pers tidak bakalan mencampuri urusan pemberitaan pers.
Kedua, sejarah sudah membuktikan, pengaturan yang bersifat administratif saja, akhirnya menjadi alat pemerintah untuk membelengu pers. Contohnya, SIUPP atau Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. Sejak awal, dulu pemerintah bilang, SIUPP ini hanya soal administrasi saja, tak terkait sama sekali dengan pemberitaan. Kenyataan SIUPP justeru menjadi senjata ampuh pemerintah Orde Baru untuk menindas pers. SIUPP menjadi komonitas politik dengan harga mahal.
Ketiga, kalau pemerintah diberikan kesempatan membuat regulasi soal publisher right platform digital, masyarakat pers jangan lugu. Harus diingat, agar dapat operasional regulasi tentang publisher right platform digital pasti harus pula diikuti dengan perbagai peraturan pelaksanaan lainnya. Nah, dari sana menjadi semakin terbuka kemungkinan ada peraturan pemerintah yang tidak sesui dengan jiwa UU Pers.
Selain itu, keempat, perlu difahami konsep publisher right platform digital dibuat belum berdasarkan suatu riset yang mendalam mengenai apa masalah keperluan mayoritas pers online. Belum diteliti bagaimana seandainya publisher right platform digital diterapkan, apa untung ruginya buat pers digital Indonesia. Dasarnya baru pada asumsi-asumsi belaka.
“Jika publisher right platform digital diterapkan, maka 80% pers digital yang merupakan star up, akan mengalami persoalan,” kata seorang pengurus perusahaan pers online.
Konsep publisher right platform digital belum menggali kemungkinan kerugian apa saja yang bakal diderita digital. Keinginan menjadi nafas “kesinambungan” hidup pers malah dapat menjadi bumerang berubah menjadi mata pedang yang siap menusuk ke tubuh pers.
Meminta pemerintah masuk ikut mengatur regulasi tentang pers, bagaikan memberikan leher pers untuk dipenggal oleh pemerintah.
Karya pers on line atau digital Indonesia banyak yang disebarluaskan atau ditayangkan oleh platform digital asing, seperti terutama tetapi tidak terbatas pada geogle dan yang sejenis. Padahal mereka tidak membayar apapun kepada pers Indonesia.
Maka, demikian pemikiran penyusun konsep publisher right platform digital , mereka ke depan harus dipungut bayaran. Mereka harus membayar setiap penayangan karya-karya perusahaan pers digital. Hal ini karena perusahaan pers Indonesia mempunyai hak (cipta) terhadap karyanya. Jadi tak dapat sembarangan disebarluas. Perusahaan manapun yang mau menyebarkan harus bayar.
Selintas konsep ini menarik dan bagus. Konsep ini seakan memberikan angin segar terhadap perlindungan finansial perusahaan pers Indonesia. Nanun jika didalami lebih lanjut, penerapan publisher right platform digital pada eko sistem pers digital Indonesia justeru dapat berdampak negatif terhadap kehidupan pers digital Indonesia.
Pertama, jika konsep publisher right platform digital benar-benar diterapkan, pihak asing kemungkinan tidak menolak. Tapi mereka menuntut adanya keadilan. Kira-kira, “kalau gue ngambil punya loe bayar, sebaliknya loe kalau ngambil punya gue , juga harus bayar!”
Inilah yang dalam kaedah hukum atau kontrak sosial disebut dengan istilah reprositas. Asas timbal balik.
Nah sekarang kita hitung-hitungan, apakah penerapan asas ini saat ini lebjh menguntungkan pers kita, atau malah juateru merugikan.
Secara jujur harus kita akui, kemampuan pers online atau digital Indonesia menghasilkan berita yang menarik dan bermutu masih sangat lemah. Saaat ini, hanpir 80% pers digital kita masih mengandalkan konten dari platform seperti geole. Ini artinya, kalau konsep publisher right platform digital pers 80% pers digital Indonesia yang selama ini masih gratis menikmati informasi dari platform asing kelak harus membayar kepada mereka. Sudah sanggupkah?
Perusahaan-perusahaan pers digital atau on line kita sekitar 85% masih “ngos-ngosan” dan tidak sehat secara ekonomis. Pada umumnya perusahaan pers digital atau on line Indonesia , adalah perusahaan-perusahaan yang belum mapan. Perusahaan-perudahaan yang untuk survive saja masih setengah mati. Tak heran sebagian besar wartawannya malah tidak digaji. Penulis luar pihak ketiga pun yang tulisannya dibuat masih diperlakukan dengan gratis.
Nah, jika asas reprositas dalam konsep publisher right platform digital dilaksanakan, kemungkinan, bukan saja sebagian besar tidak sanggup membayar, tetapi juga bakalan rontok satu persatu. Tak ada sama sekali sinar “kesinambungan” hidup untuk pers digital yang digembar-gemborkan dari kehadiran konsep publisher right platform digital. Justeru yang ada malah muncul tanda-tanda kematian.
Selama ini yang terjadi justeru sebaliknya. Berita atau informasi dari perusahaan online di Indonesia yang kecil-kecil itu penyebaran sangat terbatas. Jangankan tingkat internasional, pada tingkat nasional saja tak dikenal. Setelah disebarkan oleh platform asing, justeru viewer atau pembacanya menjadi jauh tambah besar. Dan mereka pun sebagai memperoleh hak royalti dari pembaca plafform asing yang diatur oleh perusahaan-perusahaan asing. Dengan kata lain, platform perusahaan asing itu tidak gratis-gratis amat.
Pembatasan UU Hak Cipta
Selain UU Pers, perlu juga diingat ada UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dalam UU ini semua hasil ciptaan yang sudah diwujudkan dilindungi. Karya-karya itu dilindungi hak ciptanya. Meski demikian, dalam Bab VI UU Hak Cipta ada pembatasan perlindungan hak cipta. Saya beberapa kali tampil jadi ahli pers di pengadilan terkait dengan persoal hak cipta di bidang pers. Pendapat saya tegas: mengutip atau mengambil informasi dari pers lain, diperbolehkan, dan bukan merupakan pelanggaran hak cipta.
Saya merujuk kepada pasal 43 UU Hak Cipta yang dengan tegas menyebut ada perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta. Pembatasan itu antara lain terdapat pada pasal 43 huruf c yang menegaskan “Pengambilan berita aktual, baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lainnya dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.“
Dengan demikian dalam kehidupan demokrasi, UU Hak Cipta sudah menegaskan tidak ada royalti untuk penyebaran berita asal sesuai UU Hak Cipta. Pendapat saya umumnya diperhatikan pihak pengadilan. Tentu beda untuk karya cipta yang lain seperti film dan sebagainya.
Penerapan pembayaran untuk pers selain sejak awal tidak sesuai dengan mekanisme tradisi dan kemerdekaan pers, juga bertentangan dengan UU Hak Cipta. Jika publisher right platform digital diterapkan juga bakal bertabrakan dengan ketentuan UU Hak Cipta soal kebebasan pers mengutip informasi dari sumber lain.
Cabut, dan Pakai Peraturan Dewan Pers
Cara pemerintah melakukan treament terhadap racangan publisher right platform digital juga sudah menunjukkan gejala awal, pemerintah ingin mengambil peran besar dalam regulasi soal ini. Memang kalau Perpera sih itu ranah dan otoritas pemerintah. Namun ini kan sudah menyangkut pers. Seharunya Dewan Pers sebagai representasi masyarakat pers mengingatkan pemerintah tak mengambil peran Dewan Pers yang memfasilitasi peraturan-peraturan di bidang pers. Dalam kontek ini Dewan Pers terkesan cenderung belum siap mengantisiapssi pembuatan regulasi ini dan peluang ini diambil dengan sangat baik dan manis oleh pemerintah. Mana ada pemerintah yang mau menolak menerima “setengah nyawa” dari pers diserahkan kepada pemerintah.
Dari segi subtansi, konsep publisher right platform digital lebih banyak merugikan pers Indonesia ketimbang keuntungannya. Lebih banyak mudaratnya ketimbang kemanfaatannya. Maka konsep publisher right platform digital memang sudah layak ditolak.
Solusi
Ada bebberapa usulan menghadapi hal ini.
Pertama, tunda pengeluaran regulasi soal konsep publisher right platform digital dalam semua bentuknya. Ketimbang bikin gaduh, lebih baik ditelaah dulu secara lebih seksama.
Kedua, buka semua isi konsep publisher right platform digital ke masyarakat pers. Jangan ada dusta di antara kita. Jangan hanya ”elite” pers maupun pemerintah saja yang mengetahui isinya. Selama ini alur subtansi publisher right platform digital terasa misterius seperti kerja agen rahasia. Kebiasan yang terjadi pada orde baru itu perlu ditinggalkan. Buka saja seluruh isinya tanpa harus takut. Toh tak ada rahasia negara. Jangan percaya satu dua orang yang sudah mengatasnamakan masyarakat pers.
Ketiga, sosialiasasikan dulu isi publisher right platform digital tersebut, sehingga sebanyak mungkin masyarakat pers lebih memahami apa isinya.
Keempat, libatkan sebabyak mungkin masyarakat pers untuk berpartisipasi
memberikan saran, kritik dan usulan terhadap draf publisher right platform digital. Darisana barulah dirumuskan untuk kepentingan bersama, kalau memang masih diperlukan publisher right platform digital . Seandainya mayoritas masyarakat pers merasa tidak memerlukan, ya sudah tanggalkan.
Berikutnya kelima, sebaiknya urusan ini tidak lagi ditangani oleh pemerintah. Walaupun pemerintan mungkin berniat baik, tapi keterlibatan pemerintah dalam dunia pers tetap bakal menimbulkan kegaduhan. Pemerintah bakal memghadapi sejumlah tudingan yang intinya dinilai mau turut campur urusan pers lagi.
Berikan sepenuhnya urusan ini kepada Dewan Pers. Biarlah Dewan Pers bersama masyarakat pers yang menentukan apakah sudah saatnya publisher right platform digital diterapkan, atau belum. Jika belum tentu tak dapat dilanjutkan.
Sebaliknya jika masyarakat pers memandang publisher right platform digital dengan isi yang telah direvisi dan mewakili aspirasi masyarakat pers sudah dibutuhkan, dapat dibuat melalui Peratusan Dewan Pers sebagaimana telah diatur dalam pasal 15 ayat 2 huruf “f ” UU Pers. Di situ disebut salah satu tugas Dewan Pers adalah memfasilitasi pembuatan peraturan pers.