Artikel

Pemilu 2024 dan Demokrasi Saling Mengenyahkan

KOMENTAR
post image

Oleh: Ilham Bintang

INDONESIA kembali akan menggelar pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serentak pada 2024 mendatang. Sesuai Pasal 5  Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Parpol yang sudah berbadan hukum berhak mendaftar sebagai parpol peserta Pemilu 2024. Di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) tercatat ada 75 parpol telah berbadan hukum.  Namun, dari jumlah itu  hanya 32 Parpol yang aktif.

Pemilu  Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dilaksanakan pada 14 Februari 2024 berbarengan dengan Pemilu Legislatif (Pileg) untuk memilih anggota DPR RI, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan anggota DPD RI. Sementara, Pilkada untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota diselenggarakan serentak di seluruh daerah pada 27 November 2024. Seluruhnya 271 kepala daerah.

Rinciannya, 101 daerah yang seharusnya menggelar pilkada pada 2022 (7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota) yang ditunda tahun itu kemudian digabung dengan 170 kepala daerah yang masa jabatannya habis pada 2023.

Penundaan ini saja sudah menimbulkan prokontra karena dianggap  mencederai demokrasi. 271  penjabat (PJ) atau pejabat sementara (Pjs) untuk menggantikan posisi kepala daerah hingga penyelenggaraan Pilkada 2024 tanpa legitimasi Pemilu. Yang kontra menganggap para Pj itu menikmati kekuasaan tanpa persetujuan rakyat secara langsung, sebagaimanan menjadi prinsip demokrasi yang kita anut.

Pesta Beromzet  Rp 1.100 Triliun

Pemilu 2024 karena  serentak maka biayanya pun membengkak. Besarnya hampir empat kali lipat dibandingkan Pemilu 2019 yang menelan biaya Rp 25 T. Menurut data Nagara Institute milik politisi Akbar Faizal, sejak reformasi biaya Pemilu konsisten mengalami kenaikan. Pemilu 1999 berbiaya Rp 1,3 T, Pemilu 2004 berbiaya Rp 4,45 T, Pemilu 2009 berbiaya Rp 8,5 T, Pemilu 2014 berbiaya Rp 15,62 T, dan Pemilu 2019 berbiaya 25,59 T.

Presiden Joko Widodo bulan April lalu merinci, anggaran Pemilu yang dialokasikan pemerintah untuk KPU sebesar Rp 76,6 triliun dan Bawaslu Rp 33,8 triliun.  Perputaran uang besar akan terjadi mengingat seluruh peserta Pemilu juga akan membelanjakan uangnya "membeli tiket" supaya diusung parpol masing-masing dan biaya kampanye/sosialisasi  untuk menarik simpati rakyat memilih dia. Diramalkan total belanja calon itu sebesar Rp 1.000 T. Setara dengan 30 persen APBN 2022, atau lebih besar dari alokasi anggaran pembangunan 2022. Jika lebih dirinci lagi, sekitar 2 X biaya IKN.

Pemilu belakangan memang menjelma menjadi industri  raksasa setiap lima tahun sekali. Pesonanya luar biasa. Pemilu bagai  mesin penyedot debu raksasa. Menyedot  bukan hanya pihak yang berkepentingan langsung dengan ideologi  demokrasi. Mesin itu juga menyedot juga banyak keahlian yang lahir belakangan dan tak lupa para petualang pemburu rente.

Pemilu, sejatinya memang adalah pesta demokrasi. Pesta daulat rakyat setiap lima tahun sekali. Setiap satu suara rakyat punya harga  yang ikut menentukan masa depan bangsa. Namun, pada sisinya  yang lain, melekat citra sebagai "kotak dolar".

Dalam pengalaman penyelenggaraan Pemilu di Tanah Air sebelumnya, pesta demokrasi itu merupakan saat panen raya bagi semua pihak. Perusahaan Media pers, tempat wartawan bekerja menyuarakan idealisme pers, juga punya unit usaha yang berfungsi seperti halnya perusahaan lain, hidup dari Pemilu itu. Sejak dulu.

Jauh sebelum disrupsi di dunia informasi terjadi. Jauh  sebelum kelahiran media-media baru, media digital dan sosial media. Namun, karena perusahaan media pers bersifat khusus, maka ia dibebani banyak aturan yang membedakannya dengan perusahaan biasa.

Pertama, tentu saja media pers wajib memperhatikan obyektivitas, netralitas atau keberimbangan di dalam produk jurnalistiknya. Dalam banyak hak wartawan dan media pers dengan politisi dan Pemilu, seperti air dan minyak. Mustahil menyatu meski bisa bercampur.

“Dalam politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, Anda bisa bertaruh itu direncanakan seperti itu," kata Franklin D. Roosevelt. Ranah politisi "bagaimana baiknya", sedangkan ranah pers "bagaimana benarnya".  Ingkar janji atau bahkan berbohong adalah hal lazim dalam dunia politik, sedangkan di dunia pers hal itu tabu, haram.

Wartawan dididik hanya memberitakan atau menyuarakan fakta. Katakan yang salah  itu salah sekalipun menyakitkan. Sekalipun pemasang iklan mencabut iklannya, dan bisa juga pemilik media menindak wartawan yang bertanggung jawab di bidang redaksi.

Trauma  Pemilu 2019 lalu masih menghantui kita. Total ada 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit akibat kelelahan. Dua petinggi KPU ditangkap KPK terkait dengan  kasus korupsi  karena menyalahgunakan kewenangannya. Tidak terhitung jumlah anggota DPR, kepala daerah produk Pemilu yang menjadi tahanan KPK membuat kita frustrasi dan meragukan Pemilu dan Demokrasi itu sendiri. Harga terbesar yang mesti kita bayar, hingga  sekarang, terjadi keterbelahan masyarakat. Sungguh memperihatinkan   julukan yang tak beradab pada saudara sebangsa kita sendiri: "Cebong" versus "Kampret" atau "Kadrun".

Di masa Orde Baru demokrasi  kita dijuluki demokrasi pengejar layang-layang. Masih menggambarkan keadaan suka cita para pengejar layang-layang. Yang diawal -awal "game" bahu-membahu menciptakan kegembiraan dengan permainan itu.

Aturan dibuat bareng, gala bambu di-create bersama dikasih ranting pohon ujungnya, menyeberang jalan saling menjaga, meski endingnya ironis. Tidak ada yang boleh mendapat layangan itu, mendingan robek-robek. Tapi tidak ada yang kecewa. Besok bermain lagi. Begitu lagi.

Tapi satu dasawarsa terakhir permainan berubah drastis. Kita mengurut dada karena semangat sportivitas sebagaimana dalam game apapun hilang. Yang ada semangat saling mengenyahkan satu sama lain. Hoax dan doxing menjadi senjata pamungkas untuk menyalurkan naluri pengenyahan lawan politik, bahkan jauh sebelum kompetisi dimulai.

Pers tumbuh di tengah setting suasana itu. Mau tidak mau sering dianggap melakukan hal sama. Ini sangat berbahaya. Pada Pemilu sebelumnya masyarakat memparodikan Pemilu adalah babak Pers Vs Pers. Keterbelahan pers digambarkan sangat  ironis di mata  publik. Anda harus nonton dua stasiun TV sekaligus untuk mendapatkan liputan coverboth sides. Ini tidak sepantasnya terjadi justru ketika reformasi bangsa pada tahun 1998  menghadiahi kemerdekaan pers kepada  wartawan dan bangsa

Itu alasan Dewan Kehormatan PWI  bulan Maret memperingatkan seluruh wartawan anggota PWI agar tidak mencampuradukkan kegiatan kewartawanannya  dengan kegiatan di dunia politik.

Dewan Kehormatan PWI Pusat mengingatkan anggota maupun  pengurus PWI di semua tingkatan yang akan menjadi calon anggota legislatif tidak mengerjakan  tugas kewartawanan, sedangkan bagi pengurus harus mengundurkan diri sebagai pengurus.

Seperti yang menjadi amanah Pasal 26 Peraturan Dasar PWI hasil Kongres XXIV di Solo tahun 2018. Silahkan, namun semua yang akan maju dalam Pilpres, Pilkada dan Pemilu legislatif harus mengundurkan diri.

DK-PWI perlu menegaskan itu sejak awal mengingat Komisi Pemilihan Umum 2024 bakal memulai tahapan pendaftaran bacaleg parpol bulan Juni 2022 . Dalam PD/PRT PWI  bahkan ditegaskan menjadi tim sukses kontestasi politik saja pun harus mengundurkan diri.

DK PWI mencatat berdasarkan pengalaman terdahulu banyak pengurus PWI yang kemudian menjadi calon legislatif. Secara etika hal yang sama berlaku bagi   anggota PWI yang menjadi pejabat di pemerintahan seperti duta besar, Dirjen atau komisaris BUMN sementara non aktif dulu dengan kegiatan kewartawanan.

Kita tentu bangga dengan kiprah beberapa wartawan dan pengurus PWI yang dipercaya dan memperoleh tugas-tugas penting. Namun demi tetap menegakkan marwah pers dan organisasi dan tidak membingungkan masyarakat jangan  merangkap pekerjaan wartawan.

Dengan berpegang pada falsafah "minyak dengan air" yang "boleh bercampur tapi tidak bersatu", maka pers dapat mengamankan dirinya dalam melaksanakan fungsi kontrol. Dengan falsafah sama  pers menyelamatkan demokrasi dan bangsa dari kemungkinan berkuasanya para pemimpin palsu.

Tulisan merupakan Pengantar Diskusi JMSI "Tantangan Pers di Tahun Politik Menuju 2024" Kamis, 9 Juni 2022
 

Berita Terkait


Foto Lainnya

Menyusul Perpres Tanggung Jawab Platform Digital, Bappenas Perkenalkan BEJO’S

Sebelumnya

Golden Certificate Ini Saya Dedikasikan untuk Pembina dan Pengurus JMSI

Berikutnya

Artikel Berita