Berita

Guru Besar UGM: RKUHP Perlu Disosialisasikan

Laporan: Tim Redaksi JMSI
KOMENTAR
post image
Salah satu demonstrasi menolak RKUHP./Net

Arahan Presiden Joko Widodo seperti disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, agar para menteri mensosialisasikan kepada masyarakat 14 isu krusial dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukup Pidana (KUHP), sudah tepat.

Pasalnya, kata Guru Besar Universitas Gadjah Mada Marcus Priyo Gunarto, potensi perbedaan pendapat atas suatu rumusan delik dalam RKUHP adalah hal yang wajar dan perlu diselaraskan dengan sosialisasi sebelum kemudian disahkan oleh DPR RI.

Berita Terkait


“Proses sosialisasi atas RKUHP mutlak diperlukan, bahkan setelah disahkan sebagai UU sekalipun, penyuluhan hukum pidana yang baru tetap masih diperlukan,” ujar Marcus dalam keterangan tertulis, Senin (15/8).

Pada sisi lain Marcus optimistis Indonesia akan segera mempunyai KUHP terbaru produk dalam negeri, menggantikan KUHP lama yang merupakan peninggalan pemerintah kolonial.

Sambungnya, dengan keseriusan pemerintah dan DPR melakukan sosialisasi, serta dengan kesediaan semua pihak memahami kepentingan besar yang ingin dilindungi melalui RKUHP saat ini, Indonesia akan segera bisa mengesahkannya menjadi KUHP hasil karya untuk Bangsa Indonesia sendiri.

“KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini adalah Wetboek van Strafrecht voor Nederland Indie peninggalan Pemerintah Hindia Belanda. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Belanda, dan sampai sekarang ini tidak ada terjemahan resmi dalam bahasa Indonesia,” jelasnya.

Ditinjau dari usianya, KUHP kita juga sudah terlalu tua. Tepatnya, kata Marcus, WvS diterapkan di Indonesia oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1915, disusun oleh pemerintah Belanda pada tahun 1881, dan merupakan konkordansi dari Code Penal Perancis 1791.

Kemudian, lanjutnya, dilihat dari sistem nilai yang melatarbelakangi penyusunannya, WvS dibuat oleh masyarakat dengan latar belakang sistem sosial individualis dan liberalis, sedangkan masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang mono-dualis yang religius. Yaitu, masyarakat yang memberikan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan sosial dan bersifat religius.

“Jadi banyak hal yang sebenarnya tidak sesuai dengan sistem nilai masyarakat kita,” pungkasnya.

Foto Lainnya

JMSI Papua Tengah Gelar Buka Puasa Bersama, Ustad Azam Pesan Jurnalis Bangun Bangsa Ini dengan Literasi yang Baik

Sebelumnya

Bukber, Santunan, dan Ngobras

Berikutnya

Artikel Berita